Tuesday, September 8, 2009

The Law of Time Perspective

The most successful people in any society are those who take the longest time period into consideration when making their day-to-day decisions. This insight comes from the pioneering work on upward financial mobility in America conducted by Dr. Edward Banfield of Harvard University in the late 1950's and early 1960's. After studying many of the factors that were thought to contribute to individual financial success over the course of a person's lifetime, he concluded that there was one primary factor that took precedence over all the others. He called it “time perspective.”

Plant Trees

What Banfield found was that the higher a person rises in any society, the longer the time perspective or time horizon of that person. People at the highest social and economic levels make decisions and sacrifices that may not pay off for many years, sometimes not even in their own lifetimes. They “plant trees under which they will never sit.”

Doctors

An obvious example of someone with a long time perspective is the man or women who spends ten or twelve years studying and interning to become a doctor. This person takes extraordinarily long time to lay down the foundation for a lifetime career. And partially because we know how long it takes to become a doctor, we hold doctors in the highest esteem of any professional group. We appreciate and admire the sacrifices that they have made in order to be able to practice a profession that is so important to so many of us. We recognize their long time perspectives.
Long Time Perspectives

People with long term perspectives are willing to pay the price of success for a long, long time before they achieve it. They think about the consequences of their choices and decisions in terms of what they might mean in five, ten, fifteen, and even twenty years from now.

Short Time Perspectives

People at the lowest levels of society have the shortest time perspectives. They focus primarily on immediate gratification and often engage in behaviors that are virtually guaranteed to lead to negative consequences in the long term. At the very bottom of the social ladder, you find hopeless alcoholics and drug addicts. These people think in terms of the next drink or the next fix. Their time perspective is often less than one hour.

Delayed Gratification is the Key to Financial Success

Your ability to practice self-mastery, self-control, and self-denial, to sacrifice in the short term so you can enjoy greater rewards in the long term, is the starting point of developing a long time perspective. This attitude is essential to financial achievement of any kind.

Action Exercise

Practice a long term perspective in every area of your life, especially in your financial life but also with your family and your health. Think of where you would ideally like to be in five years and begin today to take steps in that direction.

Source: Brian Tracy"email for me today

Monday, August 31, 2009

Pengumuman USM STAN 2009

Pengumuman Hasil Ujian Saringan Masuk STAN Tahun 2009 akan diumumkan hari ini mulai pukul 11.00 W.I.B. dan dapat dilihat di website: bppk.depkeu.go.id, depkeu.go.id, dan stan.ac.id.

Sunday, August 30, 2009

Tujuh Langkah untuk Mencapai Tujuan

Ada tujuh langkah yang dapat Anda gunakan untuk mencapai tujuan-tujuan Anda lebih cepat dan lebih mudah. Ketujuh langkah tersebut adalah:

1. Putuskan apa sesungguhnya yang Anda inginkan dalam setiap bidang kehidupan Anda. Keinginan tersebut harus spesifik.

2. Tulislah dengan jelas dan detil.

3. Tentukan deadline yang spesifik. Misalnya, 31 Agustus 2015.

4. Buatlah daftar segala sesuatu yang dapat Anda kerjakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Jika ada pemikiran baru, tambahkan dalam daftar tersebut.

5. Berdasarkan daftar yang telah disusun, buatlah sebuah perencanaan berdasarkan skala prioritas.

6. Segeralah bertindak. Mulailah dengan hal yang terpenting yang dapat Anda kerjakan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat.

7. Lakukan sesuatu setiap hari yang menggerakkan Anda mencapai satu atau lebih dari tujuan-tujuan penting Anda.

Sumber: email Brian Tracy kepada saya tadi malam.

Monday, March 23, 2009

Batas Akhir Pembayaran Pajak Penghasilan Tahun 2008

Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lambat disampaikan pada akhir bulan ketiga (untuk WP Orang Pribadi) dan akhir bulan keempat (WP Badan) setelah berakhirnya tahun pajak. Dengan demikian, untuk tahun pajak 2008, batas akhir penyetoran adalah 31 Maret 2009 (WP OP) dan 30 April 2009 (WP Badan), dengan catatan SPT Tahunan disampaikan pada batas akhir penyampaian. Jika SPT Tahunan PPh OP 2008 disampaikan tanggal 20 Maret 2009, maka penyetoran kekurangannya dilakukan paling lambat tanggal 20 Maret 2009. Ketentuan ini mulai berlaku 1 Januari 2008.

Sementara itu, menurut UU No 10 tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak, maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan. Undang-Undang ini masih berlaku hingga 31 Desember 2008 karena sejak 1 Januari 2009 berlaku UU No 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat UU No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 29 UU No 36 Tahun 2008 mengatur bahwa apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak, kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Aturan yang berbeda ini menimbulkan kebingungan, tidak hanya bagi Wajib Pajak, tetapi juga membuat bingung aparat pajak di lapangan. Tidak adanya penegasan dari Kantor Pusat DJP juga menambah kebingunan jajaran di bawahnya, bahkan sampai di tingkat Kepala Kantor.

Pendapat menjadi terbelah. Ada yang berpendapat bahwa batas akhir penyetoran PPh Pasal 29 tahun 2008 adalah tetap tanggal 25 Maret 2009, walaupun batas akhir pelaporan SPT Tahunan PPh Badan adalah 30 April 2009. Alasannya, UU No 36 tahun 2008 baru mulai berlaku 1 Januari 2009 atau berlaku untuk tahun pajak 2009, sehingga untuk tahun pajak 2008 masih berlaku UU sebelumnya. UU sebelumnya mengatur bahwa batas akhir penyetoran adalah tgl 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa batas terakhir penyetoran adalah sebelum batas akhir pelaporan, yaitu pada akhir bulan ketiga (WP OP) dan akhir bulan keempat (WP Badan). Hal ini sesuai dengan UU No 36 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga UU No 6 Tahun 1983 tentang KUP. UU KUP merupakan landasan hukum formal yang salah satunya adalah mengatur tentang tata cara penyetoran pajak. Sebaliknya, UU PPh merupakan ketentuan Material yang mengatur tentang Subjek, Objek, dan Besarnya Tarif Pajak. Ketentuan material tidak mengatur tentang tata cara penyetoran, melainkan hanya mengatur substansi (material).

Berdasarkan pendapat terakhir, seharusnya kita tidak perlu bingung lagi. Mengenai batas akhir penyetoran kita berpijak pada ketentuan UU KUP. Oleh karena itu, batas akhir penyetoran PPh Pasal 29 adalah sebelum batas akhir penyampaian SPT Tahunan, yaitu pada akhir bulan ketiga (WP OP) dan akhir bulan keempat (WP Badan). Untuk tahun buku yang berakhir 31 Desember 2008, maka batas akhir penyetoran adalah 31 Maret untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dan 30 April untuk Wajib Pajak Badan.

Thursday, December 4, 2008

SUMBANGAN : HARUSKAH MEMINTA INSENTIF PAJAK?

Salah satu rahasia sukses terbesar adalah “memberi” karena dengan memberi berarti kita mempunyai “lebih”. Ketika memberi, kita mengekspresikan bahwa kita berkelimpahan. Ekspresi berkelimpahan ini terpancar ke alam semesta dan sesuai dengan Hukum Daya Tarik (Law of Attraction), kita akan menarik keberlimpahan juga, bahkan berlipat-lipat.

Di sisi lain, ada istilah ”menukar” yang berarti memberi sesuatu dengan mengharapkan imbalan. Misalnya kita mau menukar pulpen dengan pensil. Kita memberikan pulpen kepada orang lain dan seketika itu kita mengharapkan akan menerima pensil.

Menyumbang termasuk pengertian memberi, bukan menukar. Pengertian sumbangan sendiri adalah pemberian sesuatu dengan tulus ikhlas kepada pihak lain dengan tujuan untuk meringankan beban/penderitaan orang yang menerima. Misalnya ada suatu bencana di suatu daerah. Orang-orang yang tertimpa bencana tentunya membutuhkan pertolongan untuk meringankan beban mereka. Pemberian kepada mereka inilah dinamakan sumbangan.

Sumbangan yang diberikan tentunya harus didasari perasaan tulus ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan, baik imbalan langsung dari pihak yang menerima, maupun imbalan secara tidak langsung dari pihak lain (ketiga). Imbalan yang diharapkan dari pihak ketiga ini bisa dari Pemerintah berupa insentif pajak, atau bisa juga dari Tuhan Yang Maha Kuasa, berupa anugerah yang berlimpah.

Jika kita memberikan sumbangan, tetapi kita masih mengharapkan imbalan, baik langsung maupun tidak langsung, maka sumbangan tersebut belum bisa kita kategorikan sebagai ”memberi”, melainkan baru dalam taraf ”menukar”.
Nah, bagaimana perlakuan perpajakan khususnya Pajak Penghasilan terhadap sumbangan ini? Mumpung mulai tahun 2009 nanti kita akan menggunakan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang baru, yang pada 2 September silam telah disetujui oleh wakil kita di DPR, ada baiknya kita juga ikut membahasnya.

Dalam ketentuan lama, segala bentuk sumbangan tidak boleh dibiayakan. Konsepnya waktu itu adalah menyumbang harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Artinya, kalau kita sudah ikhlas memberikan sumbangan, kita tidak perlu lagi menghubung-hubungkannya dengan pajak. Kita tidak perlu lagi meminta kepada negara agar kita dapat keringanan pajak gara-gara kita telah menyumbang. Kalau mau menyumbang, menyumbanglah secara pribadi tanpa harus meminta negara untuk ikut membantu kita (dengan mengakuinya sebagai pengurang penghasilan kena pajak).

Sementara itu, dalam UU PPh yang baru, yang akan mulai berlaku 1 Januari 2009, beberapa bentuk sumbangan akan bisa dibiayakan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6, sumbangan yang dapat dibiayakan adalah: (a) sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional; (b) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia; (c) sumbangan pembangunan infrastruktur sosial; (d) sumbangan fasilitas pendidikan; dan (e) sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga.
Dalam Pasal 9 diatur juga bahwa zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, dapat dibiayakan.

Istilah ”dapat dibiayakan” di atas mengandung pengertian bahwa pihak penyumbang akan mendapatkan keringanan pajak sebesar 28% (untuk wajib pajak badan) atau 30% (untuk wajib pajak orang pribadi) dari jumlah yang mereka sumbangkan. Artinya, jika kita menyumbang dan termasuk kategori yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka negara akan turut serta dalam bentuk keringanan pajak yang diberikan kepada penyumbang. Misalnya, Anda seorang wajib pajak yang menyumbang Rp100.000.000,00 untuk korban bencana nasional. Pada akhir tahun pajak, pada saat mengisi SPT Tahunan, Anda akan mendapat keringanan pajak sebesar Rp30.000.000,00.

Sebenarnya tanpa diiming-imingi insentif seperti ini, antusiasme masyarakat untuk menyisihkan hartanya untuk disumbangkan kepada korban bencana tidak perlu diragukan lagi. Orang akan berbondong-bondong untuk menyumbang, baik lewat media massa (radio, TV, koran, atau majalah), maupun lewat lembaga-lembaga lain. Ataupun masyarakat akan ramai-ramai membantu secara langsung, misalnya dengan membuat dapur umum, dan sebagainya.

Demikian juga untuk sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluknya. Tanpa ada insentif pajak, mereka sudah dengan perasaan tulus ikhlas menyisihkan sebagian penghasilannya untuk disumbangkan. Mereka tidak lagi berhitung akan mendapatkan sesuatu setelah melakukan perbuatan yang memang diwajibkan ajaran agamanya.
Sejak tahun 2001, pembayaran zakat kepada lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, sudah bisa dibiayakan. Namun dalam praktiknya, wajib pajak jarang yang memanfaatkan fasilitas ini, terutama wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha. Di samping karena sudah dilakukan dengan ikhlas, jika pembayaran zakat tersebut dibiayakan, maka SPT Tahunannya akan menjadi lebih bayar. Sebagai konskuensinya aparat pajak akan melakukan pemeriksaan.

Mulai tahun 2009, di samping zakat, semua bentuk sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, dapat dibiayakan. Misalkan seorang umat Hindu yang telah membayar Dana Punia sebesar 2,5% dari penghasilannya kepada Badan Dharma Dana Nasional, maka orang tersebut akan mendapat keringanan pajak dari Pemerintah. Keringanan tersebut baru dapat dinikmati jika orang itu memperhitungkan dan melaporkannya dalam SPT Tahunan.

Kalau kita kembali pada pembahasan di awal, hal ini tentu menjadi sesuatu hal yang sangat menarik. Apakah atas sumbangan yang kita berikan, kita masih perlu meminta kompensasi dari negara dalam bentuk insentif pajak? Bukankah kita menyumbang dengan perasaan tulus ikhlas? Kalau kita masih mengharapkan sesuatu, bukankah itu sama maknanya dengan “menukar”?

Akankah kita bersedia menukar sumbangan yang kita berikan dengan hanya mendapatkan insentif pajak dari Pemerintah? Bukankah kalau kita “memberi”, kita akan mendapatkan keberlimpahan yang berlipat? Bukankah dengan sering dan banyak “memberi” (melalui sumbangan), pelanggan akan bertambah banyak, omzet akan menanjak, bisnis maju pesat, dan laba pun menjadi meningkat?

Nah, mulai tahun 2009 nanti, pada saat menghitung kewajiban perpajakan pada setiap akhir tahun, tentunya Anda akan dihadapkan pada pilihan : apakah atas sumbangan yang telah Anda keluarkan, Anda masih meminta kompensasi kepada negara ataukah diikhlaskan saja dengan tidak melaporkannya dalam SPT Tahunan? Anda sendiri yang memutuskannya.

Penulis:
I Nyoman Widia
Kaprodi Akuntansi STIE Tunas Nusantara

Sunday, November 30, 2008

TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP

By Brian Tracy

Advancing Your Career
As your career advances, you move along the scale from employee, to supervisor to manager and finally, to leader. Managers, and some leaders, engage in what is called transactional leadership, the deployment and management of people and resources to get results.

Arouse Emotion In Others
However, at the highest end of the leadership scale, we come to what is called "transformational leadership." Transformational leadership is defined as leadership that arouses emotion, that taps into the emotional and spiritual resources of an organization. Transformational leadership empowers people to greatly exceed their previous levels of accomplishment.

Make People Feel Terrific
Empowerment is the key. Transformational leaders are those who can elicit extraordinary performance from ordinary men and women. The superior leader is like a catalyst in a chemical process that causes the other ingredients to work together in a superior fashion.

A Key Function of Leadership
Empowerment as a key function of leadership becomes even more important as the work force becomes dominated by members of the Generation X. These highly individualistic men and women are increasingly seeking higher meaning and purpose in their careers. They are not impressed by authority or hierarchy. If they don't get the satisfaction they are seeking from their work, they will go somewhere else. And the better they are at what they do, the more readily they will leave one job for another.

Provide the Emotional Glue
Transactional leadership is essential to getting the job done but transformational leadership is what provides the emotional glue that causes organizations and the people in them to excel.

Action Exercises
Here are two things you can do immediately to become a transformational leader and empower your people.

First, get excited about your work. The more excited and committed you are to your work, the more excited and committed will be the people around you. The leader always sets the tone for the department or organization.

Second, continually encourage and praise the people who work for you. The better you make people feel about themselves and their work, the more empowered they will feel and the more committed they will be to your company

Monday, September 29, 2008

Ada Apa dengan Tarif PPn.BM?

Dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (RUU PPN dan PPn.BM) yang telah diserahkan sejak 31 Agustus 2005 kepada DPR, Pemerintah mengusulkan kenaikan tarif PPn.BM dari yang semula maksimum 75% menjadi maksimum 200%. Menjelang pembahasannya di bulan Agustus ini, issue kenaikan tarif ini kembali mencuat dan menjadi polemik di berbagai media massa.

PPn.BM merupakan pajak tambahan yang dipungut atas konsumsi suatu barang (mewah) di samping Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, apabila atas suatu barang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, maka PPn.BM juga tidak akan dikenakan atas barang tersebut. Sebaliknya, tidak terhadap semua barang yang dipungut PPN otomatis juga terutang PPn.BM. Hanya terhadap konsumsi barang-barang yang tergolong mewah saja yang dipungut PPn.BM.

Untuk dapat digolongkan sebagai barang mewah, ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi (sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Undang-Undang PPN dan PPn.BM), yaitu barang-barang tersebut tidak termasuk barang-barang kebutuhan pokok, atau barang-barang tersebut dikonsumsi oleh golongan masyarakat tertentu, atau pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi, atau barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status, atau apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.

Peranan PPn.BM

Agar diperoleh gambaran yang berimbang, mari kita lihat terlebih dahulu peranan PPn.BM bagi pihak-pihak yang berkaitan dalam pemungutan PPn.BM, yaitu negara, konsumen, dan produsen (pabrikan). Di pihak negara terdapat Departemen Keuangan (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak) sebagai pengumpul pendapatan negara, Departemen Perindustrian sebagai pembina produsen, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagai pembina tenaga kerja, dan departemen-departemen lain yang mungkin berkaitan. Pihak konsumen sangat beraneka ragam, dari yang kaya hingga miskin, dan dari yang suka bermewah-mewah hingga yang hidup sederhana. Sementara itu, di pihak produsen terdapat produsen dari barang yang sangat mewah sampai dengan produsen barang yang tidak mewah.

Ada beberapa peran yang diemban jenis pajak ini dari sisi kepentingan negara. Pertama, dengan mengenakan PPn.BM, Pemerintah berharap dapat mengendalikan pola konsumsi – produksi masyarakat akan barang yang tergolong mewah dan secara tidak langsung juga konsumsi barang yang tidak mewah. Kedua, Pemerintah juga bermaksud dapat menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Terakhir, dengan adanya pungutan PPn.BM, negara bisa menambah pundi-pundi APBN yang tentunya akan digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan.


Sementara itu, bagi konsumen, peranan PPn.BM (bersama PPN) adalah untuk membentuk pola dan prioritas konsumsi dari barang yang paling mewah sampai dengan yang tidak mewah. Pengenaan PPn.BM juga memberikan nuansa lain antara mengkonsumsi barang biasa dan mengkonsumsi barang mewah. Dengan membayar PPn.BM yang merupakan pajak tambahan di samping Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas konsumsi suatu barang, konsumen dapat merasakan ada sesuatu yang lain, jika dibandingkan dengan mengkonsumsi barang biasa (tanpa dipungut PPn.BM). Dengan adanya tarif PPn.BM yang baru, konsumen akan perlu mengatur kembali, baik jumlah maupun komposisi dari konsumsinya.


Demikian juga di pihak produsen, menghasilkan barang yang terkena pungutan PPn.BM akan berbeda dengan memproduksi barang biasa. Produsen perlu mengantisipasi tarif yang akan dikenakan dan harga akhir dari produknya untuk menentukan pilihan produk mana yang akan diproduksinya. Di samping itu, berapa jumlah produk yang diproduksinya juga terpengaruh oleh harga akhir (termasuk PPn.BM) dan daya beli dari konsumen.


Berdasarkan tinjauan dari ketiga sisi tersebut, tugas utama PPn.BM adalah untuk mencitrakan bahwa barang itu mewah, konsumsinya mewah, dan konsumennya pun mewah. Dengan demikian, dengan dikenakannya PPn.BM, kesan mewah benar-benar terasa. Selanjutnya, terserah pada konsumen dan produsen untuk menterjemahkan dan menyikapi PPn.BM ini dalam pengambilan keputusannya.


Apa yang harus dilakukan Pemerintah?


Setelah kita tahu peranan PPn.BM di atas, maka tugas pemerintah adalah mempertemukan berbagai kepentingan, baik kepentingan negara, konsumen, maupun produsen. Bagi negara, kepentingan penerimaan negara juga harus tercukupi, sedangkan bagi konsumen, kepuasan mengkonsumsi suatu barang dan juga barang lainnya (di luar barang yang terkena PPn.BM) harus tetap terpenuhi. Artinya, kepuasan untuk mengkonsumsi tidak terganggu oleh pungutan pajak yang tinggi. Sementara itu, bagi produsen, penarikan jenis pajak ini tidak akan mengganggu iklim produksi – distribusi mereka.


Tugas pemerintah berikutnya adalah menginventarisasikan barang-barang yang tergolong mewah. Harus dipilah mana barang yang mewah dengan berbagai tingkat kemewahannya dan mana yang tidak mewah. Dari hasil inventarisasi tersebut, kemudian ditentukan kelompok-kelompok barang beserta besaran tarif PPn.BM yang akan dikenakan, sedangkan terhadap barang di luar kelompok tersebut hanya dibebani PPN.


Akhirnya, Pemerintah harus dapat memberikan kepastian bahwa tarif yang sudah ditetapkan dan diberlakukan terhadap barang tertentu adalah pas, dapat diprediksi, dan tidak akan naik dikemudian hari. Mengapa tidak boleh naik? Hal ini karena derajat kemewahan suatu barang akan cenderung bergerak dari sangat mewah, mewah, hingga menjadi tidak mewah. Oleh karena itu, tarif PPn.BM terhadap suatu barang (barang yang sama) makin lama mestinya makin turun dan tidak boleh naik.


Hal-hal tersebut di atas perlu dipertegas dan dikomunikasikan oleh Pemerintah agar tidak mengganggu iklim investasi, produksi, dan ekonomi pada umumnya.


Kesimpulan


Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution, sudah menegaskan di media massa bahwa usulan tarif PPn.BM tertinggi 200% tidak secara otomatis akan diterapkan pada saat berlakunya UU PPN dan PPn.BM. Tarif tersebut hanya dipasang untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa mendatang akan muncul suatu produk yang tergolong sangat mewah yang perlu dikendalikan konsumsinya, sehingga memerlukan tarif yang sangat tinggi hingga 200%.


Selanjutnya, pernyataan Dirjen Pajak tersebut perlu dipertegas dan diwujudkan untuk menjiwai penyusunan Peraturan Pemerintah beserta peraturan-peraturan di bawahnya, sehingga tetap selaras dengan janji Darmin Nasution. Usulan tarif tersebut jangan hanya memandang dari sisi kepentingan penerimaan negara, tetapi yang harus perlu dijaga dan diperhatikan adalah usulan tarif tersebut jangan sampai mengganggu iklim berkonsumsi masyarakat dan iklim berproduksi produsen yang pada akhirnya malahan menjadi kontra-produktif.


Penulis:

Saliphasta S. (Dosen Magister Akuntansi Trisakti) dan I Nyoman Widia (Kaprodi Akuntansi STIE Tunas Nusantara)